Peran sentral
remaja sebagai generasi penerus bangsa dan agent
of change menjadikan remaja menjadi
lebih menarik dan tidak pernah lepas menjadi objektifikasi media. Hal ini
mengakibatkan remaja sangat rentan dan berpotensi mengalami tindakan
diskriminasi dan stigmatisasi, yang semuanya berakibat kepada rentannya remaja
untuk mengakses informasi dan layanan kesehatan yang baik (Youth Friendly).
Perilaku seksual pra
nikah telah menjadi bagian dari kehidupan remaja di Indonesia. Aktifitas seksual
tersebut mulai berciuman bibir, meraba-raba dada, menggesekkan alat kelamin
(petting) hingga berhubungan badan. Statistik data akses layanan kesehatan
reproduksi remaja Mitra Citra Remaja PKBI JABAR (2011) menunjukkan bahwa sekitar 28% dari 285 remaja di Indonesia
telah melakukan aktivitas seksual di luar nikah, dan 6%nya dikarnakan remaja
dipaksa melakukan aktivitas seksual oleh pasangannya. Berdasarkan hasil
penelitian Annisa Foundation pada tahun 2006 yang melibatkan siswa Sekolah
Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Umum di Cianjur terungkap bahwa 42,3% pelajar telah melakukan hubugan seks
yang pertama saat duduk di bangku sekolah. Beberapa dari siswa
mengungkapkan bahwa dia melakukan hubungan seks tersebut berdasarkan rasa suka
tanpa ada paksaan.
Dampak berikutnya adalah
kehamilan tidak diinginkan yang mendorong terjadinya aborsi. Data WHO
menyebutkan bahwa 15 - 50% kematian ibu
disebabkan karena pengguguran kandungan yang tidak aman. Departemen
Kesehatan RI mencatat bahwa setiap tahunnya
terjadi 700 ribu kasus aborsi pada remaja atau 30% dari total 2 juta kasus
dimana sebagian besar dilakukan oleh dukun (unsafe
abortion). Dari penelitian yang dilakukan PKBI tahun 2005 di 9 kota
mengenai aborsi dengan 37.685 responden,
dimana 27 % dilakukan oleh klien yang belum menikah dan biasanya sudah
mengupayakan aborsi terlebih dahulu secara sendiri dengan cara meminum jamu
khusus. Sementara 21,8 % dilakukan oleh klien dengan kehamilan lanjut dan tidak
dapat dilayani permintaan aborsinya.
Data dari Directorate General CDC & EH, Ministry
of Health, Republic of Indonesia mengungkapkan bahwa per 31 Desember 2011
dilaporkan terdapat 28.757 kasus HIV dan
AIDS dimana 1069 kasus terjadi pada remaja usia 15 – 19 tahun (98 kasus karena
penggunaan narkoba suntik), 13.053 kasus terjadi pada remaja usia 20 – 29 tahun
(14.775 kasus karena hubungan heteroseksual). Artinya, 1 dari 2 penderita HIV
dan AIDS adalah remaja berusia 15 – 29 tahun.
Salah satu cara untuk
mengintervensi penurunan kasus ini adalah dengan menyediakan akses informasi
dan pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual yang berperspektif gender dan
berbasis hak bagi remaja. Peran media dan wartawan pada khususnya sangat
penting dalam penyebaran informasi dan isu-isu kesehatan reproduksi remaja ini.
Pemberitaan yang sensitif dan memiliki pesan yang kuat akan membangun
keberpihakan terhadap kebutuhan kesehatan reproduksi dan seksual remaja
sehingga dapat mendorong kepedulian banyak pihak terutama pemerintah dan wartawan dalam menyangkut
isu ini.
Wartawan adalah aktor
kunci yang dapat membantu melakukan pendidikan terhadap publik termasuk
melakukan advokasi (pembelaan) terhadap pemenuhan hak-hak reproduksi dan
seksual remaja. Tentu saja peran berharga ini akan dapat dijalankan jika
wartawan memahami konteks isu kesehatan reproduksi dan seksual remaja serta
ditunjang dengan data-data yang relevan (evidence
base).
0 komentar:
Post a Comment