Thursday 26 May 2016

PENETAPAN HUKUMAN KEBIRI, BUKAN SOLUSI ATAS SITUASI DARURAT KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK

Anak yang menjadi korban kasus kekerasan seksual di Indonesia saat ini setiap menunjukan angka yang cukup tinggi. Data yang ditunjukan oleh UNICEF1 menunjukan sepanjang tahun 2010 bahwa terdapat 646 anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Data tersebut juga diperkuat oleh data Komnas PA mengenai  persentase peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak yaitu 2-3% setiap tahunnya.




Dari berbagai kasus terkait kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi 2, seringkali di tangani secara tidak tepat. Hakim dalam memutuskan perkara selalu berfokus pada pemberian hukuman pidana berupa penjara dan denda bagi para pelaku dan tidak mempertimbangkan hak-hak untuk korban kekerasan.  

Saat ini (25/5/2016) Presiden Joko Widodo telah menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) mengenai  penambahan sanksi hukuman bagi pelaku kekerasan seksual yang dilakukan pada anak. Perppu ini lebih dikenal dengan istilah Perppu kebiri, dikarnakan salah satu hukuman tambahannya mengatur soal hukum kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Perppu ini sebagai bagian dari respon pemerintah terkait dengan tingginya angka kekerasan seksual yang terjadi pada anak. Namun, sama halnya dengan penanganan kasus-kasus sebelumnya respon pemerintah hanya berfokus pada penambahan hukuman bagi pelaku kekerasan. Lalu bagaimana penanganan terhadap korban kekersan ataupun pelaku kekerasan seksual yang berada pada usia anak?

Undang-undang mengenai perlindungan anak  no.23 tahun 2002 menjelaskan dalam pasal 17 ayat 2: “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”. Apakah hanya itu? mungkin pemerintah merasa bahwa pemerintah hanya perlu melindungi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual untuk di rahasiakan, dan masalah selanjutnya adalah urusan pihak keluarga masing-masing.

Baik korban ataupun pelaku kekerasan seksual yang berada pada usia anak, berhak mendapatkan penanganan yang lebih baik dari pemerintah terkait dengan pemenuhan perlindungan terhadap anak. Diperlukan upaya yang lebih komperhensif dalam merespon situasi darurat kekerasan seksual terhadap anak. Dimulai dari upaya promotive, prefentif, kuratif dan rehabilitative perlu dilakukan sebagai upaya terpadu yang perlu di atur oleh pemerintah. Pengaturan akan berbagai upaya tersebut yang tercantum dalam undang-undang akan memperkuat posisi dan peranan berbagai instansi pemerintah ataupun non pemerintah untuk memutus mata rantai adanya pelaku anak baru dan korban anak baru terkait kasus kekerasan seksual.

1UNICEF (2012) Child_Poverty_and_Disparities

2 ICJR (2016) pandangan dunia dan perilaku seksual ,hlm 3

0 komentar: